Oleh: Pratomo, SP *)

Air adalah salah satu faktor penentu keberhasilan pertanian. Tanpa air, jangan berharap tanaman bisa tumbuh apalagi panen. Problematika air pada musim kemarau di Indonesia khususnya Jawa Tengah sampai dengan jaman “Bali Deso Mbangun Desa” saat ini belum juga terselesaikan. Seperti cerita tantangan Columbus -pengeliling dunia- tentang bagaimana cara membuat telur rebus bisa berdiri, masalah air ini sebenarnya juga mudah kalau sudah tahu caranya. Jawabannya adalah dengan membangun waduk mini.

_________________

P.Budi dan P.Gatot di WadukPERTANIAN menurut tingkat ketersediaan air dibagi menjadi dua yaitu: Pertanian persawahan dengan irigasi cukup dan petanian pertanian ladang lahan kering yang hanya mengandalkan hujan. Pertanian sawah sudah pernah diurus pemerintah dengan baik pada rentang tahun 1970-1980-an dengan membangun sarana dan prasarana irigasi pertanian termasuk waduk-waduk berskala besar, berikut saluran air dari mulai saluran primer hingga tersier, didukung pemenuhan tenaga penyuluh pertanian dengan jumlah dan kompetensi yang cukup, dibangunkan balai benih dan pabrik pupuk yang kredibel, Kredit Usaha Tani yang nggenah, Program Intensifikasi Pertanian, Panca Usaha Tani dan pembinaan kelompok tani yang tepat, membuat pada era tersebut pertanian Indonesia meraih masa keemasan dengan berhasil swasembada pangan.

Waduk MiniSampai kemudian korupsi yang mulai merajarela di akhir 1980-an hingga saat ini, merampas hak-hak petani untuk men­dapatkan air. Waduk-waduk raksasa seperti Jatiluhur, Mrica, Sempor, Karang­kates, Kedungombo beserta infrastruktur yang sudah dibangun susah payah itu, kini tak lagi terpelihara dengan baik. Sedimentasi akut telah mendangkalkan sekaligus mengurangi daya tampung air waduk-waduk besar tersebut.

Terdapat pula beberapa penyebab kerusakan waduk dan sarana irigasi penunjangnya. Mengutip pernyataan pakar hidrologi Djoko Sasongko, ada empat hal penyebab kerusakan waduk dan saluran irigasi. Pertama, erosi akibat mengalirnya air (run-off) melalui lubang-lubang/pondasi (piping). Kedua, keru­sakan karena retakan (cracking). Ketiga, akibat longsoran (slide), Keempat, peluapan (overtopping), yaitu meluapnya air waduk melalui puncak bendungan/saluran. Daya tampung air waduk di musim hujan makin berkurang, mengakibatkan banjir, serta pemenuhan kebutuhan bahan baku untuk air minum, industri maupun air untuk irigasi tidak memadai.

Diakui pula oleh Dirjen Sumber Daya Air Depkimpraswil Basoeki Hadimoeljono, dari ratusan bendungan berskala besar yang ada, kini 30 buah di antaranya mengalami kerusakan cukup parah. Selain karena usianya yang sudah tua, juga akibat masalah klasik kurangnya biaya operasi dan pemeliharaan waduk. Untuk membangun waduk berskala besar bukan persoalan mudah, selain membu­tuhkan dana trilyunan rupiah juga sarat masalah sosio-ekologi. Padahal masalah air sangat mendesak dibutuhkan petani lahan kering. Sebuah hasil survei yang kredibel menya­takan bahwa rata-rata petani lahan kering/ladang hanya mendapatkan penghasilan kurang dari Rp 200 ribu/bln dari tanahnya.

Waduk Mini

Melihat kenyataan terse­but di atas membuat dua orang sahabat, pengurus Yayasan Obor Tani, Ir. Budi Dharmawan dan Ir. Gatot Adjisoetopo (Ke­tua HKTI Jateng 2005-2008) ber­tukar pikiran mengkonsep solusi bagaimana cara mem­berikan air irigasi untuk petani. Akhirnya diperoleh hipotesa bahwa, apabila curah hujan di suatu daerah sebesar 3.000 mm/tahun, maka jika di daerah tersebut digali lubang kedap air dengan ukuran 1 x 1 meter de­ngan kedalaman 3 meter, lubang tersebut pasti terisi penuh air di musim penghujan. Lalu dila­kukan pengecekan data curah hujan di daerah-daerah di Jawa Tengah, ter­nyata rata-rata curah hujannya adalah 3.500 mm/th.


Untuk menguji hipotesa tersebut pada 21 Agustus 2007, Budi Dhar­mawan, sebagai prak­tisi perkebunan buah-buahan, memutuskan untuk berujicoba dengan membuat satu waduk mini berukuran kurang lebih seluas satu lapangan sepak bola di kebunnya. Dipilih lokasi di puncak bukit agar air dapat dialirkan secara gravitasi untuk menyirami tanaman buah tanpa bantuan listrik atau BBM. Sebuah bukit dikepras dengan alat berat, tak sampai sebulan waduk impian sedalam 3 meter berbentuk trapesium seperti tribun sta­dion sepakbola sudah terbentuk.

Lantas bagaimana caranya agar air dalam waduk tidak meresap ke dalam tanah? Dipilihlah bahan Geomembran High Density Polyethylene (HDPE). Geomembran dengan garansi pemakaian selama 20 tahun, produk GSE Lining, Technology, USA ini, biasanya diper­gunakan untuk melapisi tambak-tambak udang/bandeng dan danau-danau buatan lapangan golf. Hipotesa itu ternyata benar waduk mini terisi penuh air pada April 2008, dan mampu menyiram lebih dari 4.000 pohon pada lahan 20 hektar tanaman buah selama 6 bulan masa kemarau (Mei-Oktober) bahkan di awal musim peng­hujan Oktober masih tersisa ketinggian air sekitar 45 cm. Tabel 1, di bawah ini adalah data waduk mini dan perhitungan biaya pembuatannya.­

Waduk mini untuk tabungan air selama musim kemarau ini mempunyai keunggulan, yaitu: biaya pem­buatan rendah, perawatan mu­dah dan murah -sedimentasi gampang dikuras, kerusakan mudah dilas, manajemen penge­lolaan efisien, karena berada di atas waduk air yang ditampung relatif bersih terhidar dari erosi tanah yang masuk ke dalam waduk, serta bisa untuk pem­besaran ikan sistem karamba.­

Kebutuhan lahan pun sa­ngat efisien, dimana lahan yang diper­gunakan untuk waduk maksimal 8.000 m2 (sudah ter­masuk bibir waduk, jalan ins­peksi dan kaki waduk), mem­punyai kapasitas meng­airi 20 hektar tanaman buah, artinya kebutuhan lahan untuk waduk ha­nya kurang dari 4% diban­dingkan dengan luas lahan yang harus disiram. Waduk seharga Rp 360 juta tersebut bisa menghidupi minimal 100 kepala keluarga/KK (dengan luas lahan rata-rata 2.000 m2) x 4 jiwa = 400 jiwa. Seratus KK tersebut sepanjang tahun dapat menanam apa saja bahkan bu­ah-buahan ung­gul yang ada di supermarket seperti Durian Monthong, Lengkeng Itoh, Jambu Air Citra atau Srikaya Grand Anona di atas lahan yang dulunya kering kerontang.

Data teknis embung

Kemudian ada beberapa hal lagi yang harus dikerjakan secara gotong-royong oleh penduduk desa sekitar yaitu pembuatan pagar dan penanaman rumput di lereng waduk untuk mencegah erosi. Saat ini terhitung sudah dibangun 4 waduk mini di atas bukit di Jawa Tengah, tersebar di Kec. Patean Kendal, Kec. Bawen Ungaran (2 buah) dan kini yang terbaru adalah grant Yayasan Obor Tani untuk petani Desa Genting, Kec. Jambu, Kabupaten Semarang. Waduk mini tersebut diberikan dalam kerangka grant Program Sentra Pember­dayaan Tani (SPT): “Satu Desa Satu Milyar”. SPT adalah paket pemberdayaan petani berupa hibah waduk mini dan 20 hektar kebun unggul untuk petani desa sekaligus diklat pertanian selama 3 tahun.

Bentuk hibah program SPT adalah pembangunan sebuah waduk mini dengan daya tampung antara 8.000 – 10.000 m3 dan 20 hektar kebun buah untuk sebuah desa terpilih. Tahun 2008, Desa Genting terpilih sebagai desa penerima SPT dari hasil seleksi dari desa-desa se-Kabupaten Sema­rang. Para petani peserta menye­rahkan 2.000 m2 lahannya kepada Obor Tani untuk ditanami buah bermutu tinggi (Lengkeng Itoh) dan dikelola Obor Tani selama 3 tahun. Setelah itu diserahkan kembali kepada petani ketika sudah menjadi kebun buah siap panen. Di desa Genting program SPT diikuti oleh 126 KK petani, dengan luasan lahan 20,82 hektar. Selama 3 tahun itu pula SPT di desa tersebut berfungsi sebagai:

1.    Training Center. Pusat berbagai diklat pertanian untuk petani.

2.    Suplay Center. Pusat penyediaan sarana produksi. (Bibit, pupuk, pestisida dll.).

3.    Riset Center. Pusat Penelitian dan informasi untuk para petani.

Keberadaan SPT mutlak diperlukan di desa-desa agar peletakan pondasi pembangunan berbasis pedesaan untuk memakmurkan rakyat Jawa Tengah dapat tercapai. Sebab tidak bisa dipungkiri di desa saat ini jauh lebih sulit mencari warung pupuk atau warung bibit diban­dingkan mencari warung pulsa atau warung handphone. Petani juga tidak tahu harus ke mana untuk mendapatkan infor­masi mengenai komoditas apa yang menguntungkan untuk ditanam, mana pupuk yang asli, bagaimana cara men­dapatkan teknologi penanaman modern dan lain sebagainya.  Bersamaan penye­rahan kembali kebun buah kepada petani setelah 3 tahun dikelola Obor Tani, Sentra Pemberdayaan Tani juga diserahkan pengelolaannya kepada desa.

Dana pembangunan SPT dihimpun oleh Obor Tani dari Corporate Social Responbility (CSR) perusahaan-peru­sahaan dan para pengusaha di Indonesia antara lain Marimas-Harjanto Halim, Hari Budianto-Nutrifood, Lisa Tirto Utomo-Aqua, Iwan Arman-Karoseri Lak­sana, PT. Cengkeh Zanzibar, Ro­yanto Rizal-NRC, Hendro Siswoyo dan Harsono Enggal Hardjo.

Di tahun 2009 ini direncanakan 5 desa di Jawa Tengah akan dise­leksi untuk menerima 5 SPT, sampai saat ini puluhan proposal peng­ajuan SPT dari kepala-kepala desa di Jawa Tengah sudah diterima Obor Tani, sampai nanti batas akhir penyerahan proposal adalah 30 Juni 2009. Satu lagi SPT bonus berasal dari Wakil Gubernur Jawa Tengah, Rustriningsih untuk satu desa di Kebumen.

waduk ngebruk penuh1

Tiga tahun nanti akan terbukti, ternyata bisa membuat petani makmur berawal dari waduk mini. Di saat itulah telur rebus Columbus bisa tegak berdiri. Bila teknologi waduk mini semakin banyak ditiru, akan semakin bagus, karena jumlah dan penyebaran waduk mini makin banyak dan makin luas. Ini artinya konservasi dan penghijauan per­bukitan dan lahan-lahan gundul menjadi hutan tanaman buah dapat terlaksana dengan cepat. Berarti pula air tanah kembali semakin banyak, air yang ditahan perakaran tanaman semakin banyak, erosi (run-off) tidak terjadi lagi di perbukitan sehingga banjir dan tanah longsor semakin berkurang. Kalau sudah begini tidak hanya masyarakat desa yang sejahtera tetapi juga masyarakat kota mendapat dampak positif dengan turun­nya urbanisasi, banjir tidak ada lagi, serta dengan membaiknya perekonomian desa maka barang-barang konsumsi dan kebu­tuhan sekunder yang dijual di kota akan laris dibeli masyarakat desa. (*)

  • Penulis adalah mahasiswa Program Magister Teknologi Pangan Unika Sugijapranata dan bekerja sebagai Sekretaris Eksekutif, Yayasan Obor Tani.